Pages

Jumat, 27 April 2012

Korean Wave "Hallyu" Mewabah di Sejumlah Negara


Hallyu atau yang dikenal dengan istilah Korea Wave, yang artinya gelombang Korea seakan menjadi budaya pop baru yang mewabah di berbagai negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Sebut saja boyband atau girlband Korea seperti X5, N-Sonic Super Junior dengan aliran K-pop, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir semakin populer dan mampu membangkitkan histeria dimana-mana.

K-pop misalnya, telah menjadi trendsetter yang diikuti anak-anak muda, bukan hanya aliran musiknya, namun juga gayanya berpakaian.

Bisa dikatakan, Korean Wave adalah keberhasilan pemerintah Korea Selatan melakukan inflitrasi budaya di berbagai negara.

Namun, menjadikan budaya Korsel terkenal di seluruh dunia tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Semua itu bermula pada 20 tahun lalu, ketika pemerintah Korsel merancang sebuah Korea masa depan, dengan budayanya yang digandrungi banyak orang di dunia.

Pemerintah Korea sejak saat itu memberikan program beasiswa besar-besaran bagi para artis dan seniman di negaranya, untuk belajar di Amerika Serikat dan Eropa.

Dari program inilah dihasilkan artis-artis berpengalaman yang mengerti selera musik, gaya hidup, bahkan selera pasar. Hasilnya, Kkorea kini memetik buah dari keseriusan menggarap industri pop mereka.

Bayangkan menurut The Korea Creative Content Agencys, pada tahun 2011 Korea menangguk keuntungan mencapai Rp35 triliun dari bisnis Korea Pop. Angka ini meningkat 14 persen dibandingkan tahun 2010.

Tidak hanya itu, pemerintah Korea sangat jeli melihat peluang agar budaya negaranya menjadi terkenal, termasuk menyatukan olah raga beladiri tradisional menjadi satu wadah yang bernama Taekwondo pada tahun 1954.Dengan cepat, olahraga ini menjadi terkenal di seluruh dunia, bahkan menjadi cabang olahraga yang resmi dipertandingkan di Olimpiade.

Selain seni beladiri Taekwondo, institusi pendidikan juga diajarkan dan menjadi bahan riset di berbagai kampus di Korea Selatan.
Korea menjadi salah satu contoh keberhasilan penyelenggara negara yang mampu menjadikan kreativitas dan budaya penghasil uang yang cukup besar.

Heboh Super Junior...


Para elf, sebutan penggemar boysband asal Korea, sudah tak sabar menunggu band favoritnya manggung di Mata Elang International Stadium (MEIS), Ancol, Jakarta. Tiket konser pun ludes dalam waktu singat. Musik memang tidak bisa dilepaskan oleh anak muda. Demikian beberapa opini seputar anak muda yang karaternya tidak jauh dengan sesuatu yang energik, muda, trendi, dan dinamik.

Suju menjadi band luar negeri yang boleh dibilang mendapat animo besar bagi fans orang muda di Indonesia. Meski tidak tertutup bagi mereka di usia lebih tua pun menggandrungi band yang semua personilnya anak muda tersebut. Anie Yudhoyono saja pada saat menemani Presiden SBY bertandang ke Korea menyempatkan diri untuk berfoto bersama Super Junior.

Pertanyaan menarik adalah mengapa Jakarta menjadi magnet artis-artis luar negeri untuk menjajakan suaranya? Majalah Marketeers edisi April 2011 pernah menurunkan cerita sampul tentang fenomena banjirnya konser ke ibukota.

Marketeers menyimpulkan lima hasil observasi mengenai tren maraknya dunia bisnis hiburan di Indonesia belakangan dan implikasinya kepada para pemasar. Observasi ini mengacu pada perspektif lanskap bisnisnya secara makro, termasuk perspektif perubahan teknologi, situasi politik, kondisi ekonomi, tren gaya hidup sosial, yang semuanya mempengaruhi pasar show business industri musik saat ini.

Pertama, teknologi berperan besar dalam banjirnya konser ini. Tak disangkal teknologi menjadi bagian dari “biang kerok” dari pembajakan. Pembajakan yang berujung pada penurunan nilai keuntungan ini, membuat para pemasar musik menaruh perhatian lebih pada konser. Tak heran juga, bila para artis pun semangat untuk menggelar turing ke berbagai negara.

Kedua, membaiknya kondisi sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Hal ini tentunya didukung dengan kondisi sosial dan politik yang relatif stabil. Kunjungan para figur global ke Indonesia, seperti Obama, tentunya menjadi daya tarik dan daya rangsang tersendiri. Apalagi, travel warning yang sempat membuat industri pariwisata terseok sudah tidak ada lagi.

Ketiga, lebih laku manggung di Indonesia. Artis internasional mungkin tidak pandang bulu, negara miskin atau kaya, tetap mau dia datangi. Tentu asal suhu politik aman, ada promotor yang mau bayar, dan banyak penontonnya. Karena mereka sadar, bahwa konser pada dasarnya adalah bagian dari aktivitas pemasaran yang menghasilkan uang.

Keempat, orang Indonesia memang haus hiburan. Menonton konser saat ini telah menjadi bagian dari gaya hidup orang muda urban. Maraknya pertunjukan musik yang ada di tanah air, dan selalu ramai, memang merupakan sebuah tren gaya hidup yang menarik untuk diobservasi. Berbagai konser yang ada, mulai dari tiket kelas puluhan ribu, ratusan ribu, hingga kelas 10 jutaan seperti Diana Ross, atau 25 juta untuk David Foster bisa laku terjual. Ditambah dengan ludesnya tiket konser Suju ini.

Kelima, mengeringnya pasar musik dan bisnis pertunjukkan jadi pilihan anyar. Problem krisis industri musik akibat pembajakan membuat para promotor musik giat menjemput bola dengan pertunjukkan langsung. Marketeers mencatat Indonesia, khususnya Jakarta, menjadi pasar empuk bagi para bisnis pertunjukan ini. Jumlah penduduk yang banyak menjadi salah satu potensinya. Dari 20 juta penduduk Jakarta saja, misalnya, satu persennya kalau nonton konser sudah boleh dibilang seru. Maklum satu persennya berarti 200 ribu orang. Tentu ini angka yang memikat.